Jakrta- Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Gerindra Andre Rosiade membongkar permainan bisnis PCR yang terjadi saat ini. Andre menduga ada pihak yang melakukan bisnis tipu-tipu dengan menerapkan tarif berbeda tergantung waktu keluarnya hasil PCR.
Andre Rosiade mengungkapkan hal tersebut di tengah rapat dengar pendapat di Komisi VI DPR bersama perusahaan-perusahaan farmasi BUMN kesehatan, Selasa (9/11).
Tipu-tipu yang dimaksud yaitu adanya patokan harga berbeda. Artinya hasil tes yang cepat keluar lebih mahal dibanding yang keluar berhari-hari.
“Mestinya tarif PCR tidak dipatok berdasarkan berapa lama hasil tes keluar baik itu 1×24 jam maupun 2×24 jam hingga durasi lainnya. Ini publik harus tahu, dan kita bongkar,” ujar Andre, Selasa.
Andre menjelaskan permainan yang dilakukan tersebut. Menurutnya, mesin-mesin PCR yang ada saat ini bisa menangani banyak spesimen PCR dalam waktu 1 jam.
“Saya ingin bongkar permainan ini, jadi mesin PCR itu ada yang 96 spesimen per 1 jam, ada yang 48 spesimen per 1 jam, nah lalu mesin ekstraksi itu ada 16 spesimen per 20 menit, ada yang mesin 32 spesimen per 20 menit, ada yang 48 spesimen per 20 menit, dan 96 spesimen per 20 menit,” jelasnya.
Andre Rosiade menyebutkan, dengan cara kerja mesin yang demikian seharusnya laboratorium yang ada tidak perlu memberikan harga berbeda tergantung waktu keluarnya hasil PCR. Ia menganggap lucu ketika laboratorium menerapkan postur biaya semacam itu.
“Permainannya kan sebenarnya laboratorium itu ngga perlu angka-angka harga per 1 jam, 2 jam, 6 jam, karena mereka memutarkan mesin yang sama sebenarnya, lagipula juga pasiennya banyak, orang yang nyolok banyak, ngga perlu nunggu karena ribuan 1 mesin lab untuk bekerja. Jadi lucu dibikin postur biaya seperti itu,” jelasnya.
Andre menegaskan, penerapan tarif berbeda bergantung pada waktu keluarnya hasil PCR tidak signifikan. Oleh karena itu, ia menduga ada pihak yang memang melakukan tipu-tipu ongkos PCR.
“Bahwa sebenarnya mau 1 jam, 3 jam, 6 jam, 1 x 24 jam itu nggak penting, nggak signifikan, mesinnya bekerja, jumlah spesimen, jadi mohon maaf ya, diduga ditipu-tipu aja, ongkos bisnis ini. Nah tugas kita, Mas Bimo, BUMN kita selain cari untung juga harus berpihak untuk rakyat,” tandasnya.
Modal Tes PCR Hanya Rp 100 Ribu
Selain itu, menanggapi paparan Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir soal harga tes PCR di Indonesia lebih murah dibanding negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Andre Rosiade menegaskan, harga tes PCR seharusnya bisa lebih rendah dari yang sekarang diterapkan. Kata dia, harga PCR bisa kurang dari Rp 200 ribu.
“Jadi intinya apa? Intinya PCR kita itu bisa di bawah Rp 200 ribu. Harapan saya, harapan ini didengar oleh Menteri BUMN, Menteri Kesehatan dan juga pak Presiden dan seluruh rakyat Indonesia. Indonesia bisa harga PCR-nya di bawah Rp 200 ribu. India bisa kenapa kita tidak,” kata Andre.
Andre bahkan turut membongkar struktur harga tes PCR. Dari paparan yang disampaikan, Andre meyakini bahwa dengan modal tertentu, harga tes PCR bisa ditekan hingga di bawah Rp 200 ribu.
“Saya sudah bongkar struktur biayanya, tadi semuanya bisa, tinggal pemerintah berkeinginan gak,” ucap Andre.
Andre sebelumnya memepertanyakan harga tes PCR sedari awal yang dipatok hingga jutaan rupiah hingga akhirnya saat ini turun menjadi Rp 275 ribu. Menurutnya, dengan modal mesin PCR yang berkisar Rp 250 juta dan kit yang tidak lebih dari Rp 100 ribu, harga bisa lebih murah.
Bahkan, dikatakan Andre, kekinian pabrikan mesin tidak lagi menjual mesin PCR melainkan hanya meminjamkan kepada lab. Dengan begitu, pengeluaran sebesar Rp 250 juta tidak lagi diharuskan sehingga tanpa modal.
“Sehingga cukup lab-lab kita itu beli kit-nya saja, menyediakan kit-nya saja, mesinnya nanti dipinjamkan secara gratis oleh pabrik. Jadi investasi Rp 250 juta gak perlu-perlu amat ada opsi seperti itu sekarang,” ungkap Andre.
Di sisi lain, Andre turut merinci sejumlah harga mulai dari VTM yang range harganya dimulai Rp 10 ribu, kemudian ekstrasi kit berkisar Rp 25 ribu, sampai PCR kit reagen seharga Rp 65 ribu.
Dengan perincian harga tersebut, hitung-hitungan Andre, harga tes PCR bisa lebih rendah dari Rp 200 ribu.
“Anggap lah modalnya Rp 100 ribu untuk yang tadi PCR kit. (Biaya) nakes, APD, operasional untung berapa sih Rp 50 ribu, Rp70 ribu masih di bawah Rp 200 ribu. Iya sudah pakak margin (10%). Rp 200 ribu lah maksimal pokoknya masih bisa di bawah Rp 200 ribu,” kata Andre.
“India itu bisa Rp 110 ribu, kenapa Indonesia bisa jual Rp 2,5 juta, Rp 1 juta, Rp 1,5 juta,” pungkas Andre.
Sementara, sebelumnya pemerintah resmi menurunkan harga tes Covid-19 real time Polymerase Chain Reaction (RT PCR) mulai hari ini. Pada aturan terbaru, harga tes PCR di Jawa-Bali ditetapkan sebesar Rp 275 ribu, sedangkan luar Jawa-Bali Rp 300 ribu.
Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/I/2845/2021 Tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reserve Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
“Batas tarif tertinggi RT PCR diturunkan jadi 275 ribu untuk Jawa- Bali. Sedangkan luar Jawa-Bali Rp 300 ribu,” kata Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir dalam konferensi pers daring, Rabu (27/10).
Saat ini harga tes PCR yang berlaku sebesar Rp 495 ribu untuk Jawa-Bali dan Rp 525 ribu untuk luar Jawa dan Bali. Banyak yang mengeluhkan tingginya harga tersebut sehingga Presiden Jokowi memutuskan menurunkan harga tes PCR.
Abdul mengatakan, evaluasi harga dilakukan dengan memperhitungkan biaya pengambilan sampel, pemeriksaan tes PCR, jasa pelayanan SDM, harga reagen atau Bahan Habis Pakai (BHP), overhead, dan biaya lainnya.
Selain itu, pemerintah mengatur durasi diterbitkannya hasil tes maksimal 1×24 jam setelah sampel diambil. Ia pun meminta seluruh fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, laboratorium, dan fasilitas lainnya untuk mematuhi batas tarif tertinggi tersebut.
“Untuk itu, Dinas Kesehatan di daerah diharapkan dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap tarif tertinggi PCR tersebut. Evaluasi akan ditinjau ulang secara berkala, sesuai kebutuhan,” ujar dia.
Kadir menegaskan bahwa pemberlakuan tarif PCR ini mulai berlaku dari hari ini sesuai dengan surat edaran yang diterbitkan oleh Kemenkes.
“Pemberlakuan dari tarif ini mulai berlaku pada saat penerbitan surat edaran dari Kemenkes. Hari ini suratnya sudah kami keluarkan berarti mulai berlaku dari hari ini,” ujar Kadir. (*)