![]() |
Bukittinggi - Pasca laporan pengaduan ke Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat (Sumbar) yang diajukan oleh Syafri St Pangeran, Pemilik asal tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 655 terhadap Pemko Bukittinggi tentang penggelapan sertifikat, dirinya merasa jenuh, pasrah dan No Comment.
Sejak pelaporan yang dilayangkan beberapa bulan lalu, Syafri St Pangeran mengaku sudah diperiksa beberapa kali di Polda Sumbar terkait pelaporan yang dibuatnya, namun belum ada progres atau perkembangan berarti.
"Untuk saat ini saya tidak mau komentar dulu, karena merasa jenuh dan pasrah saja dengan apa yang terjadi sekarang, maaf ya saya tidak bisa kasih banyak komentar," ungkap Syafri, saat berada di Belakang Balok, Kota Bukittinggi, pada Sabtu, (19/08),
Pelaporan ini terkait dengan pasca Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) nomor: 2108 K/Pdt/2022 pada tanggal 8 Juli 2022 yang Inkracht, terkait sengketa tanah antara Universitas Fort de Kock (UFDK), Pemilik asal tanah, Syafri Sutan Pangeran dengan Pemko Bukittinggi.
Sengketa tanah tersebut terus berlanjut dengan adanya laporan pengaduan yang diajukan oleh pemilik asal tanah, Syafri Sutan Pangeran bahwa Pemko Bukittinggi telah menggelapkan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 655 yang berlokasi di Kelurahan Manggis Ganting, SU Nomor 12/MG/2007/C S.No.117/2007 dengan luas 5528 M2, atas nama Syafri Sutan Pangeran di Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat (Sumbar).
Sementara itu dilokasi yang berbeda, Kuasa Hukum Universitas Fort de Kock, Didi Cahyadi mengatakan bahwa dari 2 (dua) proses perikatan jual beli diatas tanah SHM 655 ini, yang diputus oleh Pengadilan sampai telah memiliki kekuatan hukum tetap yakni jual beli yang dilakukan antara Pemilik asal tanah dengan Yayasan Fort De Kock yang sah.
"Kami telah selesaikan dengan pembayaran lunas dihadapan pengadilan dan diketahui serta berita acaranya ditanda tangani oleh semua pihak yang bersengketa," jelas Pengacara UFDK.
Lalu tambah Didi, selanjutnya karena jual beli yang sah itu hukumnya hanya satu yaitu Yayasan Fort De Kock, tentu pihak yang lain dalam ketentuannya tentu menerima ganti rugi dari si pemilik sesuai aturan yang berlaku bukan dasar hitung dagang.
Hal ini kan, sebelumnya sudah ditawarkan dan disanggupi oleh pemilik asal tanah baik waktu eksekusi maupun melalui beberapa kali saudara Syafri selaku pemilik menyurati pihak Pemko Bukittinggi menagih sertifikat yang masih atas namanya serta mengembalikan uang ganti rugi kepada Pemko.
Lanjutnya, cuma Pemko Bukittinggi menyikapi, tetap kekeh untuk membalik namakan tanah SHM 655 menjadi Hak Pakai atas nama Pemko dengan mengabaikan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
"Hal ini sudah berkali kali ditolak oleh pihak Badan Pertanahan Bukittinggi, dengan sepihak Pemko Bukittinggi berasumsi AJB-nya masih sah. Sewajarnya Pemko membaca putusan tersebut dengan seksama, di poin putusan pengadilan yang mana bahwa tertera menyatakan AJB-nya masih berlaku. Kalau sekiranya tidak tertulis tentu sangatlah elok dan penuh etika tidak mengada-ada," tanya Didi?
Kemudian lanjutnya, menurut Pemko Bukittinggi bahwa AJB ini perlu di batalkan dengan Putusan TUN. Tentu perlu dipahami bersama bahwa Akta Jual Beli, memang dibuat oleh pejabat negara tetapi bukan putusan sepihak dari penjabat tersebut yang dapat di uji di PTUN.
Karena PPAT (Camat Mandiangin Koto selayan) disini hanya membantu Notaris mencatatkan kesepakan dua pihak antara penjual dan pembeli. Oleh karena perbuatan tersebut bukan putusan maka hal ini bukanlah termasuk dalam objek yang dapat di adili di PTUN.
"Untuk itu semua sengketa perdata yang ranahnya di Pengadilan Negeri dan PT sudah clear dengan putusan MA nomor 2108 K/Pdt/2022 yang sudah inkracht, dan tidak perlu diperdebatkan," tutup Didi. (*)