Terkait Sengketa, Yayasan Fort de Kock Dapat Lakukan Langkah Hukum Lanjutan dan Langkah Politis

Rizky
01 November 2022 | 10:51:01 WIB Last Updated 2022-11-01T10:51:01+00:00
  • Komentar
Foto: Maket Gedung Yayasan Fort de Kock Bukittinggi

Bukittinggi - Menyikapi perkembangan terkini kasus sengketa tanah antara Yayasan Pendidikan Fort de Kock dengan Pemko Bukittinggi, Praktisi Hukum Kota Bukittinggi, Aldefri SH menjelaskan bahwa Pemko Bukittinggi masuk dalam kategori penggelapan sertifikat yang saat ini bukan menjadi miliknya. 


Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia perkara nomor: 2108 K/Pdt/2022, pada tanggal 28 Juli 2022, Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan putusan terkait perkara sengketa legalitas lahan seluas 12.000 M2 yang sebelumnya terikat jual beli atau PPJB pada tahun 2005 antara Yayasan Universitas FDK dengan keluarga Syafri Sutan Pangeran Cs selaku Tergugat I. Sementara Pemko Bukittinggi selaku Tergugat IV dalam perkara tersebut diatas. 


    Menurut Aldefri, pada Selasa, 1 November 2022, secara tidak langsung ada upaya Pemko Bukittinggi masuk dalam kategori penggelapan sertifikat yang saat ini bukan menjadi miliknya, sehingga menghalangi pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah inkracht. 


    Kalau tidak salah, sepengetahuan saya, lanjut Aldefri, langkah hukum sudah dilakukan sampai pada melanjutkan kewajiban pembayaran perjanjian perikatan jual beli, apa lagi yang tidak dipenuhi? 


    Dalam pemberitaan detaksumbar.com pada Jumat, 14 Oktober 2022, Asisten I Pemko Bukittinggi, Isra Yonza menjelaskan bahwa amar PN Bukittinggi yang di eksekusi itu, amar nomor 5 yang tidak menyangkut kita, kita tidak terlibat. 


    Sehingga terbukti bahwa untuk eksekusi amar ke 5 putusan PN Bukittinggi, itu hanya menyangkut Penggugat dan Para Tergugat 1,2,3, sementara kita tidak terlibat dalam pelaksanaan eksekusi. 


    Persoalan dengan Pemerintah Kota, kita belum bisa mengatakan AJB kita serahkan, tidak akan kita serahkan begitu saja, itu tidak mungkin. 


    "Tidak akan diserahkan, sampai saat ini kita tidak melihat adanya korelasi antara eksekusi sekarang dengan AJB kita. Untuk perkara saya pikir, perkara ini sudah selesai," kata Isra Yonza. 


    Ketika itu dilakukan oleh Pemko Bukittinggi, Aldefri berpendapat bahwa ada 2 langkah yang bisa dilakukan oleh Yayasan Fort de kock, diantaranya langkah hukum lanjutan dan langkah politis. 


    Kalau mau dikaji dari Hukum Tata Negara, berarti Pemerintah Kota Bukittinggi ini telah melakukan pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Agung. Pemko hanya mengedepankan egosentris saja. Berarti-kan melanggar undang-undang. 


    Selain itu, secara politis Yayasan Fort de Kock bisa mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bukittinggi untuk melakukan rapat dengar pendapat tentang perlakuan Pemko Bukittinggi selama ini. 


    "Jadi, saat rapat dengar pendapat nanti, sampaikan saja, apa-apa langkah hukum yang sudah dilakukan. Kalau perlu minta kepada DPRD untuk melakukan Panitia Khusus. Kalau mau kita kaji secara mendalam yang diperjuangkan Fort de Kock ini-kan bukan hanya kepentingan yayasan saja tapi kepentingan dunia pendidikan di Kota Bukittinggi," kata Aldefri. 


    Apalagi disaat sengketa ini berlangsung, sebelumnya Pemko juga telah melakukan lelang proyek pembangunan gedung DPRD dan sudah ada kontraktor pemenang proyek diatas tanah yang berperkara. 


    "Semestinya, ditunggu lah dulu pelaksanaan lelang, berartikan ada kesalahan, disitu dasar kelalaiannya. Sudah tau tanah ini belum ada kejelasan permasalahannya, sama kayak permasalahan awning di pasar atas sekarang," tegas Aldefri. 


    Akhir wawancara Aldefri menerangkan, sebenarnya, permasalahan inti yang terjadi di Pemko Bukittinggi saat ini, kurang komunikasi, sosialisasi saja dengan pihak yang berperkara untuk mendapatkan harmonisasi. (*) 

    Komentar
    Komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
    • Terkait Sengketa, Yayasan Fort de Kock Dapat Lakukan Langkah Hukum Lanjutan dan Langkah Politis
    • 0

    Terpopuler